Presiden Joko Widodo diketahui telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No.12/2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) sebagai Bencana Nasional, pada Senin (13/4) kemarin. Namun, praktisi hukum Ricky Vinando yang juga alumni Universitas Jayabaya menilai Keppres tersebut tak bisa dijadikan landasan untuk menetapkan keadaan memaksa atau force majeure ketika pandemi Covid 19. Pasalnya, Covid 19 sendiri sudah sangat bisa diduga akan merambah seluruh negara, termasuk Indonesia.
Buktinya, Ricky menyebut virus itu sudah mewabah di negara tetangga Malaysia dan Singapura. Bahkan terhitung sejak awal Februari, sudah ada 25 negara yang melaporkan kasus terkait Covid 19. "Dari fakta itu sudah seharusnya Indonesia mengambil keputusan ekstrem sejak awal Februari 2020 dengan sementara waktu menghentikan semua penerbangan dan kapal laut dari luar negeri menuju Indonesia.
Dia mengklaim telah memeriksa jadwal kedatangan internasional pada 17 April 2020 di Terminal 3 Bandara Soetta. Masih ada belasan penerbangan internasional yang akan tiba hari ini. Antara lain ada tiga penerbangan Japan Airlines yang akan tiba dari Tokyo, Osaka, dan Haneda. Kemudian Malaysia Airlines memiliki delapan penerbangan yang datang dari Kuala Lumpur, serta maskapai American Airlines juga akan tiba dari Hongkong dan Jepang.
Ricky mempertanyakan masih banyaknya penerbangan internasional yang diperbolehkan masuk dari negara yang sedang gawat Covid 19. Menurutnya, lebih baik menghentikan penerbangan daripada pemerintah saat ini lebih fokus menyetop KRL Jabodetabek. "Kan corona datang hanya dari penerbangan dan kapal laut yang datang dari luar negeri. Bukan dari jalur darat. Mana ada dari Jepang bisa lewat jalur darat ke Indonesia. Harusnya kan sejak awal Januari atau awal Februari sudah disetop semua penerbangan dari internasional pun kapal laut," kata dia.
Ricky kemudian menjelaskan mengapa dia berpandangan Covid 19 bukanlah force majeure dengan logika hukum tentang rumah tetangga kebakaran. Misalkan ada rumah dengan nomor 7, 8, 9 dan 10 berjejer. Ketika rumah nomor 8 kebakaran (kondisi force majeure), maka rumah 7, 9, 10 seharusnya sudah bisa menduga rumahnya dapat terdampak. Jika tak melakukan mitigasi atau langkah apapun, otomatis rumah selain nomor 8 juga bisa habis dilahap si jago merah.
"Kalau rumah sebelah terbakar, kita diam aja ya bukan force majeure. Seperti itulah kondisi Indonesia. Maksud saya tak ada upaya sama sekali untuk memadamkan api, disitulah letak tidak ada keadaan memaksanya," jelasnya. Di sisi lain, dia mengatakan bahwa keadaan memaksa atau force majeure dikenal dalam hukum perdata merupakan kondisi yang terjadi setelah dibuat perjanjian atau kontrak yang menghalangi salah satu pihak untuk memenuhi kewajibannya atau prestasinya. Oleh karenanya, dalam keadaan force majeure, pihak yang tidak menjalankan kewajiban tidak bisa dinyatakan sebagai wanprestasi.
"Jadi semua kontrak atau perjanjian bisnis harus tetap jalan semuanya. Perbankan tidak perlu khawatir, debitur lakukan restrukturisasi hutang saja, karena Pasal 1320 KUH Perdata tetap mengikat para pihak dalam kontrak atau perjanjian. Tidak bisa dibatalkan karena Covid 19, Covid 19 bukan keadaan memaksa," kata dia. Ricky juga mengatakan bahwa krisis moneter tahun 1997 1998 saja bukan dianggap orce majeure, padahal ekonomi seluruh dunia terutama Indonesia hancur lebur saat itu. Ricky mengklaim sudah membaca Yurisprudensi Mahkamah Agung, yaitu Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 1787 K/PDT/2005 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor. 237/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst dimana berisi '…bahwa krisis moneter yang menimpa Indonesia sekalipun bukan keadaan kahar (Force Majeure) sebagaimana ditentukan dalam undang undang/ hukum perdata'.
"Sehingga kalaupun terjadi pandemi corona seperti sekarang, bukan berarti langsung menimbulkan sengketa yang bermuara pada tuduhan wanprestasi. Kedua belah pihak dapat melakukan renegosiasi atau menjadwal ulang utang yang harus dibayar atau restrukturisasi utang lah," tandasnya.