Uncategorized

Divonis Mati, Aulia Kesuma Depresi Ingin Bunuh Diri, Kirim Surat ke Keluarga Suami Hingga Presiden

Aulia Kesuma, wanita terpidana mati karena kasus pembunuhan suami dan anak tirinya kini mengalami depresi setelah divonis mati. Selain vonis yang dianggap berat, rasa salah dan kerinduan terhadap anaknya dengan suami, Edi Chandra Purnama alias Pupung Sadili tak bisa terobati. Ia pun stres berat dan berusaha bunuh diri.

Aulia dan anaknya, Geovanni Kelvin divonis hukuman mati terkait pembunuhan Pupung Sadili dan Muhammad Edi Pradana alias Dana. Tidak hanya Aulia, Geovanni juga tak luput dari stres. Kondisi fisiknya kini merosot. Aulia ternyata punya anak yang masih balita (empat tahun) dari pernikahannya dengan suaminya dibunuhnya itu, yaitu Edi Candra Purnama alias Pupung Sadili.

Hak asuh untuk anak itu sempat diajukan oleh masing masing keluarga, baik keluarga Aulia Kesuma maupun keluarga Edi Candra Purnama. Hal itu dikemukakan kuasa hukum Aulia, yakni Firman Candra, di Jakarta, Selasa (23/6/2020). Dua orang perwakilan keluarga Edi yakni Asoka Wardhana dan Sri Rahayu sempat mengajukan hak asuh untuk anak tersebut.

"Pak Asoka tidak disetujui karena usia. Usianya sudah di atas 65, kemudian ada lagi Ibu Sri Rahayu umurnya 56 tidak disetujui karena belum pernah menikah. Jadi enggak di aprove sama hakim sebagai wali," kata Firman. Hak asuh anak itu akhirnya jatuh kepada Angel (22). Angel merupakan anak Aulia Kesuma dari pernikahannya dengan suami pertama. Ngel dianggap layak menerima hak asuh lantaran masih muda dan sudah berpenghasilan.

"Jadi yang di aprove si Angel karena masih bekerja dan masih bisa menghidupilah," kata dia. Firman mengatakan, pihak Aulia Kesuma sudah berkomunikasi dengan keluarga Edi untuk bersama merawat anak itu. "Saya terus terang sudah menelepon keluarga korban untuk bersama sama yuk kita memiliki spirit untuk mengasuh anak ini bersama. Mau dendam sampai kapan pun tidak akan bisa menghidupi orang yang sudah tidak ada," ucap Firman.

Setelah divonis mati oleh hakim, Aulia Kesuma dan putranya Geovanni Kelvin mengalami depresi. Firman Candra mengatakan Aulia sempat beberapa kali mengatakan ingin bunuh diri. Tidak hanya itu, dia mengatakan kondisi fisik Aulia dan Kelvin pun menurun drastis.

"Sangat depresi, ada keinginan bunuh diri, kemudian badan kurus sekali. Itu terlihat dari bahasa bahasanya saat saya sempat vdeo call," kata Firman Candra ketika dihubungi, Selasa (23/6/2020). Hal tersebut dirasa Firman sangat memprihatikan. Dia menilai vonis hukuman mati terlampau sadis jika harus dijatuhkan kepada Aulia. Pasalnya, Aulia masih punya anak berusia empat tahun yang seharusnya tetap mendapatkan perawatan dari seorang ibu.

Aulia Kesuma sempat berkirim surat ke keluarga korban usai ia divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Surat dengan tulisan tangan itu dikirim ke keluarga Edi Candra Purnama, suami Aulia sekaligus korban pembunuhan. Dalam suratnya, Aulia Kesuma menyampaikan permohonan maaf atas perbuatannya. Selain itu dia juga meminta diizinkan bertemu sang buah hati yang berusia empat tahun, anak dari pernikahannya dengan Edi.

"Dia memohon agar masih bisa ketemu sama anak kandungnya karena bagaimana pun bapaknya sudah enggak ada, ibunya sudah hukuman mati, jadi susah untuk ketemu juga kan," kata Firman Candra saat dihubungi, Selasa (23/6/2020). Tidak hanya Aulia, Geovanni Kelvin yang juga berstatus terdakwa atas kasus yang sama, turut menyampaikan permintaan maafnya melalui surat tersebut. Dia berharap permintaan maafnya bisa diterima pihak keluarga korban dengan lapang dada.

Firman Candra mengirimkan surat resmi ke beberapa lembaga negara meminta keadilan demi membebaskan klienya dari jerat hukum. Salah satu surat itu ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. "Hari Jumat kemarin kita kirim permohonan keadilan ke delapan lembaga negara, ada presiden, ada wapres , ada komisi 3 (DPR) ada Menkumham, ada ketua Pengadilan Tinggi, ada ketua MA dan Komnas HAM dan lain lain," kata Candra saat dihubungi Selasa (23/6/2020).

Kompas.com pun mendapatkan salinan surat yang ditujukan kepada presiden tersebut. Di dalam suratnya, terdapat delapan poin utama yang ingin disampaikan Aulia Kesuma ke presiden Joko Widodo. 1. Hukuman mati atau yang sering disebut dengan pidana mati bertentangan dengan ketentuan internasional hak asasi manusia terutama Pasal 3 Direktorat Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yaitu hak untuk hidup dan Pasal 4 Undang Undang No.29 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

2. Terdakwa AULIA KESUMA memiliki putri yang masih balita dari perkawinannya dengan almarhum EDI CANDRA PURNAMA. 3. Beberapa Yurisprudensi kasus pembunuhan yang menyita perhatian publik, sudah divonis majelis hakim dan inkracht tidak ada vonis pidana mati seperti: Afriani Susanti dengan korban 9 orang meninggal dengan vonis 15 tahun; Magriet Christina Megawa dengan satu korban meninggal dengan vonis seumur hidup; dan Jessica Kumala Wongso dengan satu korban meninggal dengan Vonis 20 tahun 4. Selama hukuman mati masih menjadi sanksi dalam hukum pidana, maka Indonesia disebut masih jauh dari cita cita luhur pendiri bangsa yang terkandung dalam pancasila. Hukuman mati yang diturunkan penjajah juga dianggap tidak mengambarkan kemajuan secara nasional atau[uj internasional.

. Berdasarkan Ditjen Permasyarakatan 2019 dan database ICJR mengenai hukuman mati di Indonesia (2020) menunjukan ada sekitar 274 terpidana mati dalam lapas. Sementara itu 60 orang yang sudah duduk menunggu eksekusi mati selama lebih dari 10 tahun, tanpa kejelasan hidup, jauh dari kemanusiaan yang adil dan beradab. . Hukuman mati di berbagai belahan dunia memang masih menuai pro dan kontra. Albert Camos dalam esai panjang Reflection on the Guillotine menentang hukuman mati. Menurut dia, hukuman ini tak memberikan keadilan juga tidak tak memberikan dampak apapun kterhadap kejahatan.

Ia hanya sebuah tindakan brutal. Hukuman mati hanya memberikan kepuasan sesaat, tak ada efek jera dan tak menghentikan agar kejahatan serupa tak terjadi lagi dan dalam argumenya itu, Camuo menyebut negara tak punya hak untuk merebut hidup orang lain. . Pada 2015 beberapa negara akhirnya memutuskan menghapus praktik hukuman mati dalam konstitusi mereka. 8. Berdasarkan alasan alasan tersebut, kuasa hukuk menyatakan dua terdakwa yakni Aulia Kesuma dan Geovanni Kelvin tidak terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dakwaan Pertama Pasal 340 Jo. 55 Ayat 1 ke 1 KUHP dan harus segera dibebaskan dari vonis Pidana Mati tersebut. (Kompas.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *