Indonesia akan menerima pinjaman dari Asian Development Bank (ADB) sebesar 1,5 miliar dolar AS atau setara Rp 22,3 triliun untuk menanggulangi dampak Covid 19. Uang tersebut diharapkan cair pada Mei Juni 2020. "Kami sampaikan, misalnya dari ADB menggunakan skema khusus countercylical support facility, kita bisa dapatkan 1,5 miliar dolar AS dari ADB," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfriman, dalam diskusi daring di Jakarta, Jumat (8/5/2020).
Kapan dicairkan? "Mudah mudahan bulan Mei dan Juni," ujarnya. Luky menambahkan pemerintah secara keseluruhan berencana mengumpulkan utang dari lembaga multilateral mencapai 7 miliar dolar AS atau setara 104,4 triliun, untuk menutupi defisit APBN 2020 yang diprediksi 5,07 persen dari PDB. "Kita perkirakan bisa mengumpulkan 7 miliar dolar AS dan bisa menopang untuk menutupi kemampuan pembiayaan kita," katanya.
Di sisi lain Luky mengatakan rencana itu belum sepenuhnya disetujui oleh lembaga multilateral karena harus melewati proses negosiasi sehingga pemerintah perlu waktu untuk mencairkannya. "Pinjaman ini kan butuh untuk negosiasi, mereka juga harus ada approval. Saat ini kita komitmen 7 miliar dolar AS tapi masih dibahas detilnya," ujar Luky. Menurutnya, pinjaman yang sedang diupayakan dari berbagai lembaga multilateral tersebut bersifat pinjaman program untuk bantuan pembiayaan sehingga bukan pinjaman proyek seperti pada umumnya.
"Adanya physical distancing kan pinjaman project nggak bisa untuk dieksekusi makanya kami gunakan pinjaman untuk budget financing," katanya. Diungkapkan, lembaga multilateral itu terdiri dari Bank Dunia, Bank Pembiayaan Infrastruktur Asia (Asian Infrastructure Investment Bank/AIIB), Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank/IDB), dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Sedang Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan terkait desifit APBN 2020, pemerintah tetap memakai skenario awal defisit APBN akan naik menjadi 5,07 persen dari GDP.
Pembiayaan utang baru untuk defisit 5,07 persen tersebut diperkirakan menjadi Rp 852,9 triliun, ditambah pembiayaan investasi Rp 153, 5 triliun. "Sehingga pembiayaan utang neto akan mencapai Rp 1006,4 triliun. Kalau ditambah dengan utang yang jatuh tempo pada tahun ini, pembiayaan secara utuh akan mencapai Rp 1.439 triliun," kata Sri Mulyani. Eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menambahkan, penggunaan tambahan pembiayaan termasuk untuk program pemulihan nasional ekonomi nasional.
"Ini yang sudah diatur didalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 pasal 11 dan juga ada di dalam Perpres 54. Untuk pendanaan ini akan dilakukan penerbitan SBN yang dalam hal ini tidak dilakukan secara khusus untuk Covid 19," katanya. Sri Mulyani mengatakan sampai dengan saat ini, sisa penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang masih perlu dilakukan adalah Rp 697,3 triliun dari kuartal II hingga kuartal IV 2020. Sri Mulyani menyampaikan, pembiayaan ini akan dipenuhi melalui lelang di pasar domestik, di SBN ritel, private placement, dan penerbitan SBN.
"Semuanya masih terbuka dan kita akan melihat secara opportunistic kesempatan yang terjadi di market," ujarnya saat teleconference di Jakarta, Jumat. Pada periode Mei sampai Desember 2020 ini rata rata lelang SBN pemerintah, apabila memenuhi defisit 5,07 persen dari GDP, sebesar Rp 45 triliun per pekan.